100 Blog Indonesia Terbaik

Rabu, 10 Februari 2010

Senandung untuk Si(apa).

Senja itu langit berrwarna merah saga, burung-burung pulang ke dahan-dahan pohon tertinggi di ujung kampung. Segerombol anak-anak kecil yang tadi bermain didepan bale desa berlarian pulang karena sebentar lagi Maghrib. Seorang ibu didepan rumahnya berteriak-teriak memanggil-manggil anaknya yang masih saja berjongkok ria didepan arena pertempuran adu kelereng. Lampu-lampu mulai dinyalakan, matahari terbenam dibelakang Gunung Sunda. Kumandang adzan menggema mengingatkan umatNya untuk segera mengambil wudlu dan berangkat menuju kemenangan. Imran tengah membersihkan cangkul yang berlumuran tanah merah, dari tadi siang dia menggemburkan tanah dibelakang rumahnya, dia menanam beberapa pohon umbi-umbian. Usai membersihkan cangkulnya, segerra dia membersihkan diri dan setengah berrlari ke langgar.

Sekarang langit sudah tak berwarna merah saga lagi, bulan sedang naik dengan malu-malu, senyumannya mengalahkan genitnya kemintang yang berkerlap-kerlip. Kemudian beberapa anak berlarian menuju rumah seorang guru ngaji yang dikenal kecantikannya. Bukan kaum adam saja yang mengatakan kalau seorang perempuan yang bernama Nuri itu cantik, tapi kaum hawa pun banyak yang iri padanya. Selain cantik Nuri juga dikenal dengan kepandaiannya. Lalu agamanya yang kuat membuat siapapun terkagum-kagum padanya. Apalagi Nuri tak pernah kehilangan keramahannya, dari kecil hingga sekarang sudah semakin dewasa. Seringkali beberapa laki-laki seusianya menyatakan cinta padanya, namun hingga saat ini belum ada juga yang bisa mendapatkan cintanya. Nuri baru saja selesai mengakhiri rakaat terkhir shalat magribnya hingga beberapa anak berteriak-teriak didepan rumahnya mengucapkan salam. Nuri segera membuka pintu rumahnya, dan menyuruh anak-anak didiknya segera masuk dan bersiap-siap sambil menunggu teman-temannya yang belum datang. Setelah datang semua, pengajianpun dimulai dengan diawali membaca surat al-fatihah­ bersama-sama.

Ditempat lainnya, dilanggar. Ketika semua jamaah tengah meninggalkan langgar setelah shalat maghrib berjamaah beberapa orang didepan langgar masih ribut mencari sandal termasuk sandal pak Haji Umah. Beliau adalah seorang tetua kampung yang dihormati, saat itu seusai shalat maghrib berjamaah beberapa sandal lenyap entah kemana. Semua yang masih ada didalam langgar ikut mencari sandal diluar. Lalu seorang pemuda tanggung berbicara agak lantang pada semua orang yang hadir disana.

“kalau tadi sih saya lihat si Imran yang keluar paling awal sehabis shalat berjamaah..” ternyata ucapan seorang pemuda tanggung itu menjadi langkah provokasi yang lumayan membuat semua orang yang hadir disana tidak berfikir dua kali.

“iya, pasti si Imran yang mengambilnya, pasti sipenyakitan itu malingnya..” timpal seorang warga.

“tunggu sebentar, kita tidak boleh menuduh orang tanpa bukti..” jawab Haji Umah menenangkan warga.

“kalu begitu kita datangi rumahnya,, bagaimana Pak Haji?” tambah seorang warga yang juga sandalnya hilang.

“ya sudah, kita kerumahnya, tapi ingat jangan ada kekerasan, sekalipun dia yang mengambilnya…” jawabnya.

Lalu semua orang berrjalan dijalan setapak menuju rumah Imran yang terletak diujung kampung dibelakang bale desa. Imran sedang memetik bunga dibelakang rumahnya saat semua orang berteriak menyuruhnya keluar. Karena mendengar teriakan-teriakan yang tidak enak dikupingnya. Imran keluar dengan langkah kikuk seperti biasa. Tak ada yang berteriak-teriak lagi saat dia sudah berada dihadapan mereka.

“ada apa…?” Tanya Imran dengan nada kikuk.

“heh, jangan belaga oon..ngaku saja kamu yang mengambil sandal kami…” jawab pemuda tanggung yang paling bersemangat itu.

“sandal apa, tidak saya tidak mengambil sandal..” jawabnya heran.

“imran, tadi sehabis shalat beberapa sandal hilang didepan langgar, barang kali kamu melihat orang yang mengambil sandal kami,,” Tanya Haji Umah dengan pendekatan yang lebih halus.

“mana ada maling yang mau ngaku, pak haji…kita geledah saja..” ujar seorang warga yang tampak kesal. Sambil berjalan masuk kedalam rumah Imran diikuti beberapa orang lainnya. Mereka masuk dan mengobrak-abrik rumah yang memang tidak ada satupun barang berharga didalamnya itu.

Beberapa orang penggeledah itu keluar dengan tangan kosong, termasuk sipemuda tanggung yang paling bersemangat itu. Mereka meninggalkan Imran begitu saja tanpa persaan bersalah ataupun sedikit kata maaf telah menuduhnya sebagai pencuri.

Keesokan harinya seorang ibu-ibu gendut sedang berkumpul dengan sesama ibu-ibu lainnya, entah apa yang dibicarakannya, dimulai dari perbincangan tentang artis yang ketahuan selingkuh sampai perbincangan tentang istri kepala desa yang sering bepergian dengan motor suaminya. Ketika Ibu-ibu itu asyik negrumpi tiba-tiba Imran lewat dengan menggendong rumput dipunggungnya. Imran sempat menoleh dan tersenyum, namun dia tidak mendapat balasan hangat dari mereka, terlebih dari si ibu gendut yang sepertinya adalah ratu gossip dikampung itu. Saat Imran berlalu justru ada tema baru untuk si ibu gendut itu.

“heh, katanya selain penyakitan,,si imran itu suka mencuri sandal lho ibu-ibu..,kemarin saja di langgar beberapa orang kehilangan sendalnya, dan katanya yang mencurinya itu si Imran..sayang saat digeledah sendalnya sudah tidak ada,,…” ujar si ibu gendut dengan semangat.

Beberapa orang menanggapinya dan melanjutkan obrolan hingga adzan Dzuhur berkumandang. Imran yang sedang mengembala kambing milik pak kepala Desa mendirikan shalat ditepi sungai kecil yang menjadi batas daerah antara kampung cidulang dengan kampung cimeong. Sehabis shalat imran duduk ditepian sungai kecil itu dengan kedua kaki diceburkan kedalam air sungai. Kambing-kambing dibelakangnya sedang asyik merumput. Imran mengambil seruling bambu berukuran kecil dipinggangnya, dia meniupnya dengan mata yang terpejam. Nada-nadanya mencumbui permukaan sungai yang sedang tenang, membelai-belai dedauanan yang bergoyang mengikuti irama seruling yang ditiupnya, seolah mereka mengerti apa yang sedang dilagukan oleh Imran. Nada-nada da-mi-na-ti-la-da yang ditiupnya seperti menggambarkan kerinduan yang begitu kronis hingga mencapai puncak stadium 4 kerinduan entah ke(pada) dan untuk si(apa).

Ketika nada-nada itu mencakar-cakar langit diatas Gunung sunda yang terbentang disebelah timur sungai itu, suara kemeresak rumput-rumput kering yang terinjak dibelakangnya semakin mendekat Imran berbalik kebelakang dengan spontan. Namun tak ada seorangpun dibelakangnya, kemudian Imran melanjutkan meniup suling bambunya dengan mata yang kembali dipejamkan. Begitu dipejamkan hidung imran menangkap bau harum dari sampingnya yang dibawa oleh hembusan angin lembut yang lewat didepan wajahnya. Dan itu membuat imran penasaran, sepertinya dia kenal wangi itu. Wangi seseorang dimasa kecilnya, Imran membuka matanya perlahan dengan debaran kencang didadanya. Dia memandang lurus kedepan, kemudian pandangannya diturunkan sedikit demi sedikit, hingga bola matanya terfokus pada sebuah bayangan seorang perempuan diatas permukaan air sungai yang bening, dia tak berani menengok kesampingnya, meskipun ia yakin bahwa pemilik wajah cantik yang sedang tersenyum dan menatap air yang sama dengannya itu ada disampingnya.

“yakinkan Nuri kalau aa enggak ngambil sandal orang-orang itu didepan langgar ..” Nuri memandang lurus kedepan sambil berdiri disamping Imran yang tengah duduk ditepian sungai.

“jadi aku harus bersaksi atas nama Tuhan, padahal sedikitpun aku tak berani mengucapkan nama Tuhan sebagai sumpah, meskipun itu tentang kebenaran..sebab aku tak pantas mengucapkan sumpah dengan nama Tuhan yang maha suci dengan keadaanku yang penuh dosa…yang harus kamu tahu, sedikitpun aku tak pernah berani melakukan perbuatan yang dibenci Tuhan”. Jawab Imran dengan sesekali menarik nafas panjang dan dalam.

“lalu kenapa aa enggak membela diri saat semua warga menjadikan aa bahan gossip mereka..” Tanya Nuri menambahkan.

“jika itu membuat hati mereka tentram, maka aku tidak akan mengusik kebahagiaan mereka, aku hanya bisa berdoa semoga dosa-dosaku diampuni, juga kekhilafan mereka..” jawabnya mantap.

“ya sudah itu cukup membuat nuri tenang dan semakin yakin kalau aa memang tak pernah berubah..aa udah makan..?”

“Alhamdulillah kalau Nuri percaya..aa sudah makan kok…tadi pagi, kenapa kamu masih mau menemuiku, kalau abah sama ambu tahu kamu bisa dimarahi..”

“bukankah kita sudah lama tidak berbicara dari hati-kehati seperti ini lagi seperti beberapa belastahun yang lalu..”

“tapi abah sama ambu pasti tidak mau kamu dekat-dekat dengan orang penyakitan sepertiku..kamu tidak takut kalau kamu terinfeksi..?”

“apa memiliki penyakit HIV AIDS membuatmu berdosa? Apa berhubungan dengan orang yang punya penyakit itu membuat nuri berdosa? Nuri tahu penyakit aa itu bukan akibat dari perbuatan aa yang tercela, itu diturunkan dari kedua orang tua aa, jadi itu bukanlah alasan untuk aa diasingkan oleh semua orang didesa ini, seharusnya aa diterima sebagaimana orang normal biasanya..”

“. . . . . . . . . . . .” Imran tidak berkata sedikitpun mendengar kata-kata Nuri begitu menyayat hatinya.

“ya sudah, Nuri pamit pulang, jangan lupa makan, jaga kesehatan aa, selalu ingat Allah aa..oia, sebelum Nuri pulang, nuri ingin sekali mendengar aa memainkan lagu yang dulu sering aa mainkan untuk Nuri..” pinta nuri.

Imran masih saja diam, kemudian beberrapa detik berikutnya Imran memejamkan matanya perlahan, hingga dia tak bisa melihat bayangan wajah yang begitu cantik dipermukaan sungai yang sedang tenang itu. Perlahan Imran mengangkat suling yang digenggam kedua tangannya kedepan bibirnya, saat suling itu berrsentuhan dengan bibirnya, nafasnya perlahan dikumpulkan dirongga mulutnya, kemudian sedikit-sedikit dikeluarkan melalui celah kecil yang tersambung ke bibir suling, sesekali nafasnya ditahan didada, lalu dikeluarkan dengan perlahan, beberapa tiupan berikutnya nafasnya dibiarkan menggulung dirongga bibir dan berputar diatas perutnya lalu nafasnya mengalir seperrti sebuah jalur air yang mengalir mengikuti aliran udara didada yang keluar lewat rongga mulut dan berakhir dibibirnya.

Lalu seiring udara yang berhembus lembut disekitar sungai, nada-nada indah keluar begitu saja dengan lembut. Lagi itu membuat Nuri merinding, seolah kembali pada hari dimana dulu ia masih tertawa bersama Imran yang masih ceria dan cekatan. Nuri, memandang permukaan air sungai yang merefleksikan bayangan wajahnya seperti cermin, namun bayangan wajahnya tiba-tiba lenyap dan berganti dengan bayangan dua bocah kecil yang berlarian dipinggiran sungai mengejar angin. Nuri tersenyum dalam diamnya, lalu nada-nada indah yang terus mengalir beriringan dengan hembusan angin yang begitu lembut mengadu pada dedaunan di ujung pohon itu berhenti. Kemudian Imran membuka matanya dan menatap permukaan air sungai dengan perlahan, dia hanya melihat bayangan wajahnya yang tersenyum kecil, tidak ada lagi bayangan wajah teman semasa kecilnya itu, tidak ada Nuri, perlahan Imran menengokan kepala kesampingnya, tak ada si(apa)pun disana. Hanya bau harum khas minyak wangi yang sering dikenakan oleh Nuri yang tertinggal disana. Imran tersenyum seraya mencium wangi yang perlahan hilang dibawa pergi sang angin.

Dan aku masih saja disini

Dengan senyum yang masih seperti hari itu

Dengan lesung pipi yang kau anggap lucu

Dan aku masih melihatmu seperti dulu

Seperti saat kau berlari disampingku

Dengan langkah yang merayu angin

Dengan nafas yang memburu matahari.

Dan Kita tak perlu pergi kelangit ketujuh

Dengan langkahku yang sedikit pincang karena menginjak paku

Cukup dengan berjalan dipinggiran sungai, katamu

Sebab disini cinta Tuhan berlabuh

Untukku, untukmu dan

Untuk ,

kita

Imran, bangkit dari duduknya dan menggiring kambing-kambing itu pulang kekandangnya, telah habis waktu untuk mereka merumput, Matahari mengiringi iringan kambing yang di awasi oleh seorang pengembala dengan suling yang menempel dipinggangnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar