100 Blog Indonesia Terbaik

Rabu, 10 Februari 2010

Aku Tidak Sakit (jilid 1)

Hari itu dia berjalan dalam keremangan senja, ada sedikit ragu yang menyelinap dalam dadanya ketika semua mata memandang dia dengan tatapan yang membuatnya risih. Sebentar lagi magrib datang, lamat-lamat dari kejauhan terdengar suara adzan menggema diseluruh pelosok desa kecil ini. Kekecewaan mulai menerpanya saat dia mengambil wudlu serta turut merapatkan barisan dalam shaf terdepan di langgar kecil desa itu, namun beberapa orang disampingnya seperti sengaja membuat jarak darinya walaupun tidak terlalu jauh. Lalu kalimat Takbir terlantun dari bibir Imam dengan lantang, kekhusyukan datang menyelimuti semua makmum yang terhanyut lantunan ayat-ayat Al- Baqarah yang dibaca imam setelah surat Al-Fatihah. Tiga rakaat magrib begitu terasa cepat selesai ketika imam mengucapkan salam di tahiyat akhir shalat maghrib. Kalimat-kalimat tasbih langsung mengisi seluruh sudut-sudut langgar yang tak terlalu kecil namun memang tak besar ini seusai shalat berjamaah maghrib itu. Beberapa orang langsung berdiri dan segera meninggalkan langgar dengan sedikit tergesa, mungkin ada pekerjaan yang belum selesai dan harus segera mereka lanjutkan.

Sementara dia masih duduk bersila dibarisan paling depan, sesekali kepalanya manggut-manggut, lalu menggeleng ketika mulutnya tengah melantunkan beberapa kalimat tasbih dan tahmid dengan khusyuknya. Setelah Imam selesai memanjatkan doa yang diikuti oleh makmumnya semuanya berdiri dengan sikap agak condong kedepan sedikit membungkuk, bersalaman dengan imam berbaris sambil menyenandungkan shalawat, termasuk dia yang baru beranjak dari duduknya. Semuanya membentuk setengah lingkaran, bersalaman tanpa komando dan satu persatu meninggalkan langgar. Jarum jam di dinding kayu langgar yang mungkin sudah berusia senja itu berdetak seperti degup jantung yang sedang didengarkan dengan stetoskop, suaranya terdengar sedikit lebih nyaring karena tak ada sedikitpun suara disana ketika semua tamu Illahi itu meninggalkannya. Sunyi pelan-pelan beranjak dari tidurnya saat suara jangkrik mengalahkan dentang jarum jam yang masih terus berputar dengan tempo yang tak pernah berubah.

Celah-celah dinding kayu langgar yang diterobos cahaya orange mulai ditinggalkan oleh senja yang digantikan oleh kegelapan, Lampu-lampu jalan dijalanan kecil yang terhubung langsung ke bale desa mulai dinyalakan. Seusai shalat Isya berjamaah dengan tiga orang jamaah yang kebetulan rumahnya dekat dengan langgar Dia berjalan menyusuri jalan setapak yang juga terhubung kerumahnya diujung desa, dibelakang bale desa kecil dikaki gunung Sunda tepat dibelakang Gunung Burangrang. Desa itu memang jauh dari keramaian kota, bahkan memang tak terjamah hiruk pikuk geliatnya kabupaten Bandung Barat yang mulai bangkit dari tidur lamanya. Disebuah rumah didepan balai desa terdengar keriuhan anak-anak yang sedang mengaji dengan bersemangat beriringan dengan pembimbingnya. Dia berdiri sejenak didepan rumah tersebut sambil tersenyum dan memejamkan matanya, seperti meresapi setiap kalimat yang anak-anak itu baca dengan suara lantang walaupun makhroj nya belum sepenuhnya benar. Dia terus berdiri disana hingga anak-anak itu bubar dan berhamburan dari rumah kecil itu, beberapa orang anak laki-laki malah sempat menabraknya dengan bahu-bahu kecil mereka, namun tak terbantahkan keseimbangannya goyah juga hingga dia jatuh terduduk ditanah yang basah karena hujan tadi sore. Anak-anak itu begitu saja meninggalkannya tanpa kata maaf dan perasaan bersalah.

Dia hanya tersenyum seraya kembali berdiri dan membersihkan bagian belakang celananya yang kini kotor oleh tanah berlumpur. Beberapa anak perempuan tertawa cekikikan melihat bagian belakang celananya yang basah dan kotor. Lalu seorang perempuan muda berjilbab keluar dari rumah itu dengan senyuman ramahnya. Wajahnya sangat cantik, kulitnya kuning langsat laksana putrid-putri keraton. Langkahnya lembut, gerakannya gemulai seperti penari, tingkahnya sopan, lemah lembut, dan kalimatnya terjaga bahkan saat menyapanya.

“Assalamualaikum kang Imran..baru pulang dari langgar yaa” sapanya pada Imran yang sedang membersihkan celananya.

“wa..alaikum salam..iiyaa..” jawabnya tergagap, siapa orangnya yang tidak akan gugup berhadapan dengan gadis secantik Nuri, selain cantik shalihah pula. Bahkan Imran yang dikenal “sakit” pun pasti terpesona.

Cepat cepat imran menurunkan pandangannya, dia tidak ingin berlama-lama melihat makhluk indah ciptaan Illahi dihadapannya itu. Lalu setelah berpamitan dia segera mempercepat langkahnya meninggalkan Nuri yang masih berdiri diberanda rumahnya memperhatikan anak-anak yang baru bubar mengaji dirumahnya. Sesekali Nuri menatap langkah Imran yang kerap tersandung tanah. Imran memang orang yang dikenal kikuk didesa itu, banyak hal yang menyebabkannya seperti itu, salah satunya dia dianggap autis oleh masyarakat desa itu padahal imran tidak autis, dia hanya tak bisa membaca dan menulis saja itupun karena Imran tidak pernah sekolah. Imran yang sudah hidup sendiri sejak berumur 9 tahun karena ayah ibunya meninggal karena penyakit mematikan yang sampai hari ini menjadi momok paling menakutkan bagi semua orang, HIV-AIDS memang belum ada obatnya hingga hari ini. Dan Karena penduduk di desa ini yakin kalau penyakit seperti ini menular maka dengan tanpa pemeriksaan dahulu mereka memvonis Imran juga terkena virus jahat itu, sejak ditinggalkan oleh kedua orang tuanya imran justru semakin tertekan dengan sikap penduduk desa yang bersikap seperti jijik bila dekat-dekat dengannya.

Beruntung seorang nenek tua yang juga tak punya siapa-siapa mau merawatnya, membesarkannya tanpa minta balasan, sejak kecil Imran tak pernah bisa bermain dengan siapapun. Sebab tak ada yang mau bermain dengannya, kalaupun Nuri adalah anak desa itu yang mau bermain dengannya, tetap orang tuanya selalu melarangnya bermain dengan imran, terlebih sejak masuk SMP Nuri dititipkan pada pamannya di Kotamadya. Yang jaraknya jauh dari desa terpencil itu. Baru setelah Lulus SMU Nuri kembali tinggal bersama ibunya didesa terpencil itu karena mereka sudah tak punya biaya lagi bila nuri harus melanjutkan sekolah keperguruan tinggi negeri. Bagi Imran hanya Nuri lah penduduk desa itu yang tidak jijik berdekatan dengannya setelah nenek angkatnya yang merawatnya juga meninggal beberapa tahun yang lalu. Kini Imran tinggal sendiri di gubuk reyot yang semakin hari semakin memprihatinkan. Setelah satu-satunya nenek yang menyayanginya itu meninggal Imran hanya mengandalkan pekerjaannya menggembala kambing Kepala Desa. Dari hasil menggembalakan kambing milik kepala desa itu Imran bisa makan, dan menghidupi diri sendiri, memanjangkan hidupnya dari hari kehari.

Imran yang kikuk itu seringkali mendapat perlakuan pahit dari anak-anak didesa itu, dikatakan sakit atau lebih dari itu dia disebut orang gila. Tidak hanya anak-anak saja yang memperlakukannya seperti itu, pemuda berandalan dikampung itu juga tak kalah giat menjahilinya setiap hari. Pernah suatu hari salah satu kambing gembalaannya disembunyikan oleh pemuda-pemuda berandalan yang seumuran dengannya dikampung itu, hingga Imran tersesat dihutan kaki Gunung Sunda. Seiring berrtambahnya usia Imran semakin mendapat banyak tekanan, semakin merasa diasingkan, padahal dialah orang yang pertama akan memburu langgar 5 menit sebelum suara adzan berkumandang di langgar kampung itu, dialah orang yang paling peduli menolong orang yang kesusahan padahal dirinya mungkin lebih membutuhkan, dialah orang yang tak pernah marah, meskipun diperlakukan tidak adil.

Sampai dirumahnya yang berdinding anyaman bambu yang sudah banyak celah-celah bolongnya Imran langsung menutup pintu rapat-rapat, ada sesuatu yang menekan-nekan dihatinya setiap kali dia bertatapan dengan Nuri si gadis shalihah itu, mungkin ini yang disebut cinta, fikirnya sambil memejamkan matanya dibalik pintu kayu yang sudah tidak tegak lagi. Udara malam yang dingin masuk dari berbagai celah keruangan petak 3x3 meter itu. Tak ada barang mewah disana selain Al-Qur’an. Baginya barang mewah itu hanya Al-Qur’an yang merangkum isi Dunia dan seluruh jagat raya didalamnya. Lalu disudut sebelah kanan sebuah lemari kayu berisi tumpukan baju-baju kumal miliknya, disebelahnya ada ranjang kayu kecil tanpa kasur, hanya beralaskan papan dan tikar plastik yang sudah banyak sobekannya. Disebelah kiri ada pintu menuju dapur yang berlantaikan tanah, tak ada kompor minyak sekalipun apalagi kompor gas. Dia hanya menggunakan hawu atau tungku dengan bahan bakar kayu dan ranting-ranting kering yang ia kumpulkan setiap hari sambil menggembala kambing.

Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya, Imran membuka matanya dan bergumam pelan seraya menatap Al-Qur’an yang tergeletak diatas lemari kecilnya.

“tidak mungkin aku jatuh cinta padanya ya Allah..sungguh tidak mungkin, ya Allah jauhkan perasaan ini dari hambaMu yang lemah ini ya Allah..”

Matanya kembali terpejam perlahan sambil berjalan lalu duduk diatas dipan beralas tikarnya. Perlahan dia mengambil Al-Qur’annya yang sudah tak bagus lagi keadaannya. Dia membukanya dengan hati-hati seolah hendak membaca surat dari sang kekasih, penuh kebahagiaan merasuki tubuhnya, bola matanya berbinar saat satu persatu ayat-ayat Allah itu dibaca dengan bacaan yang halus terjaga tajwid dan makhrojul hurufnya. Perlahan kepalnya terkulai kedinding bilik dan mulai tertidur dalam duduknya.

Pukul 04.15 WIB Imran terbangun, imran keluar dengan handuk kecil dibahunya. Dia pergi kebelakang rumahnya, disana ada pancuran air yang ditutupi seng-seng sebagai kamar mandi terbuka miliknya. Meskipun seadanya, tapi kamar mandi itu seolah kamar mandi mewah baginya, karena tetap terjaga kebersihannya. Selesai membersihkan diri dia kembali kekamarnya untuk mencari pakaian, setelah mengenakan baju koko putih yang sudah agak kusam dengan kain sarung yang sudah terlihat belel dia berjalan menyusuri jalan setapak yang menghubungkan desanya “Cidulang” dengan desa tetangga “cimeong” Kakinya sudah terbiasa berjalan menggunakan sandal jepit yang terbuat dari karet bekas ban meskipun alasnya agak keras, matanya terpejam ketika semilir angin subuh menerpa wajahnya, hidungnya menghirup udara sebanyak-banyaknya lalu ia keluarkan perlahan seperti menikmati sesuatu yang member kenikmatan tersendiri.

Sampai didepan langgar dia mnedapati seorang pemuda seusianya dengan keril menempel dipunggungnya, dia sedang melepaskan sepatunya yang penuh lumpur, pakaiannya seperti seorang pendaki gunung atau pecinta alam. Kaos tangan panjang warna coklat digabung dengan celana PDL warna hitam. Pisau belati dipinggangnya membuatnya terlihat gagah, dia tersenyum ramah ketika tak sengaja beradu pandang dengan Imran. Pemuda itu berdiri dan menyodorkan tangan pada Imran yang masih berdiri mematung.

“Assalamualaikum kang, maaf mengganggu, boleh saya ikut mandi disini..sekalian ikut shalat subuh kang?” tanyanya ramah sembari menyodorkan tangannya..

“ooh..mangga..dibelakang ada kamar mandi kecil, tapi mungkin sedikit kotor..” jawab imran.

“eh iya..perkenalkan, saya Yusuf kang, Muhamad Yusuf Setiabudi. Saya mahasiswa yang sedang melakukan pendakian di Gunung Sunda kang,,”

“iya..saya Imran Abdul Qayum..panggil saja Imran..ya sudah silakan kalau mau bersih-bersih nanti saya tunggu didalam kalau mau shalat berjamaah..”

Imran masuk kedalam langgar, gagang pintunya masih berembun dan terlalu dingin. Setelah menyalakan lampu, dia berjalan menuju kebelakang mimbar kayu yang tidak terlalu bagus bentuknya itu, ia menyalakan microphone lalu mulai membuka Al-Qur’an dan membacanya dengan nada yang indah seperti seorang Qari Internasional. Suaranya menggema diseluruh kampung lewat pengeras suara diatap kubah Langgar. Yusuf yang sedang membersihkan diri berhenti sejenak karena terpesona dengan keindahan ayat-ayat Allah yang dibacakan oleh Imran, sekilas suaranya seperti dari kaset, tapi dia yakin kalau suara itu berasal dari suara Imran, karena tadi dia baru berbicara dengannya, jadi setidaknya dia mengenali suara indah itu milik siapa. Seusai membersihkan diri Yusuf masuk kedalam langgar setelah mengenakan sarung serta kemeja yang lebih bersih. Dia membawa kerilnya masuk kedalam langgar dan meletakannya disudut ruangan. Dia masih mendapati Imran menyenandungkan ayat-ayat Allah itu, tak dipungkiri lagi olehnya kalau dia memuji dalam hati orang yang baru dikenalnya itu. Namun waktu shalat Subuh sepertinya sudah tiba, untuk itu Yusuf menepuk pundak Imran pelan, dan menunjukan jam ditangannya, imran mengerti apa maksud teman barunya itu. Dia mengakhiri bacaannya. Dan beranjak dari duduknya.

Imran menawarkan kepada teman barunya itu untuk adzan, tapi Yusuf menolak katanya belum siap. Imran mengumandangkan seruan kepada seluruh penduduk kampung untuk segera melaksanakan Shalat subuh berjamaah dengan tak kalah indah saat membaca ayat-ayat Allah tadi. Perlahan Yusuf mendapati rasa nyaman saat mendengarkan adzan subuh yang begitu menggetarkan hati itu. Lagi-lagi dalam hatinya yusuf tak bisa menyangkal kalau ia kagum pada teman barunya itu. Ketika kumandang adzan tengah mengetuk – ngetuk kelopak mata semua penduduk kampung untuk datang ke langgar, datanglah seorang laki-laki paruh baya dengan sorban yang melilit dikepalanya. Janggut tipis menghiasi dagu bapak tua itu. Dia berdiri menunggu kumandang adzan berhenti. Lalu disusul dua orang lelaki yang sama-sama paruh baya, namun mereka tak mengenakan sorban seperti bapak-bapak yang pertama kali masuk.

Shalat subuh berjamaah kali ini bertambah satu orang dari sebelumnya, itupun orang yang hanya lewat saja. Yusuf hanya menambal kekosongan shalat jamaah subuh dikampung itu untuk sementara saja. Mungkin besok juga sudah tidak ada lagi. Dan seperti subuh-subuh biasanya dikampung ini, mungkin dimanapun shalat subuh berjamaah sering dilewatkan begitu saja, hingga rumah Allah itu begitu lenggang.

Seusai shalat subuh satu persatu meninggalkan langgar, tinggal Imran yang masih duduk membaca Al-Qur’an dengan suara rendah. Dan Yusuf yang sedang tiduran tanpa memejamkan matanya. Matanya masih terus mengedarkan pandangan keseluruh atap langgar tanpa langit-langit. Langit mulai membuka mata seiring kokok ayam yang memecah keheningan, suara orang menyapu halaman sudah mulai terdengar, aktifitas-aktifitas pagi lainnya mulai berjalan seperti biasa. Imran menyudahi bacaannya, lalu bangkit berdiri menyimpan Al-Qur’an lecek dibelakang mimbar kayu itu. Ketika hendak berjalan keluar, Yusuf menahannya lalu mengajaknya duduk sebentar.

“kang saya mau minta tolong boleh..?” tiba-tiba pertanyaan itu seperti oase untuk Imran setelah kehausan dipadang pasir bertahun-tahun. Selama ini kehadirannya tak pernah bisa membantu orang lain, tapi hari ini ketika kawan baru hadir dihadapannya mungkin semuanya akan berubah.

“bo..boleh kang, ka kalau saya bisa bantu..” jawabnya tergagap

“teman-teman saya tersesat digunung, saya harus mencarinya lagi..tapi sebelum itu saya harus menemukan orang yang mengenal daerah ini dengan baik, mungkin akang bisa bantu..selain itu, saya butuh tempat tinggal untuk sementara, kalau boleh saya menumpang dirumah akang..saya janji tidak akan merepotkan akang, bagaimana kang?”

“kalau urusan siapa yang mengenal daerah gunung sunda, insya Allah saya bisa mengantar akang, saya cukup baik mengenal gunung ini, tapi masalah tempat tinggal, rumah saya gak pantas disebut rumah, kandang kambing mungkin..” jawabnya.

“tidak apa kang, saya cuma ikut tidur doang..”

“ya sudah kalau begitu, akang bisa lihat dulu barang kali nanti tidak kerasan, saya bisa bantu carikan yang lain..”

“pasti kerasan kang, saya orangnya gak neko-neko kok kang..terima kasih ya kang”

Mereka berjalan beriringan menapaki jalan setapak menuju rumah Imran, diperjalanan banyak orang yang memperhatikan. Imran hanya berjalan tanpa mempedulikannya, dia menundukan kepala. Sampai didepan rumah Nuri tiba-tiba seseorang menyapanya dengan nada yang halus. Imran seketika menoleh mencari asal suara itu. Nuri menyapanya dengan lembut, dari dulu Nuri memang tak pernah berubah, pantas saja kalau dia jadi idola bagi para pemuda dikampungnya, kecantikannya, keramahannya, tutur bahasanya, tak ada duanya di kampung itu. Nuri sekilas menatap Yusuf yang berpakaian seperti pecinta alam, dia tersenyum lalu segera menundukan kepalanya.

Begitupun Yusuf, dia tak berani memandang perrempuan cantik didepannya itu lama-lama, Imran membalas sapaan Nuri lalu memohon diri. Imran dan Yusuf berlalu dari hadapan Nuri yang sedang menyapa halaman rumahnya. Ketika mereka berlalu dari hadapannya seorang bapak berkumis tebal menghampiri Nuri dari dalam rumah.

“heh, sudah bapak bilang, tak perlu kamu kasih hati si penyakitan itu..” perintah bapaknya pada Nuri yang langsung tertunduk mendengar kata-kata kasar ayahnya.

Sampai dirumahnya, Imran membuka pintu yang berdecit membuat tulang linu itu pelan-pelan. Lalu ia mempersilahkan Yusuf masuk. Yusuf masuk setelah mengucapkan salam, lalu mengedarkan pandangannya keseluruh ruangan. Tak ada raut kekecewaan diwajah Yusuf saat duduk melemaskan tubuhnya setelah mungkin kelelahan berjalan dari Gunung ke kampung ini.

“maaf hanya seperti ini adanya gubukku..” ucap Imran pada Yusuf yang sedang memejamkan mata seolah menikmati sesuatu.

“ooh..tidak apa, rumahnya enak kok, malah kostanku yang harusnya dibilang kandang kambing..disini enak kang, adem..hehe” jawabnya dengan nada gembira.

“syukurlah, ya sudah say tinggal kebelakang dulu kang..” Imran berlalu kebelakang tanpa kekecewaan seddikitpun, sepertinya Imran menemukan oasenya.

****************

Pagi itu Imran sedang mengasah goloknya saat Yusuf membereskan barang-barangnya, rencananya mereka akan naik ke gunung itu hari ini juga. Rupanya Yusuf lebih dulu menyelesaikan persiapannya. Sementara Yusuf menunggu Imran yang sedang bersiap-siap Yusuf merasa harus membeli sesuatu kewarung untuk bekal mereka diperjalanan. Yusuf meminta izin untuk berangkat duluan, lebih baik dia menunggu Imran diwarung dekat bale desa saja sambil membeli bekal untuk mereka diperjalanan jadi waktu tak terbuang percuma, begitu fikir yusuf.

Yusuf membeli beberapa potong roti, lalu beberapa bungkus Indomie, karena rencananya mereka akan berbivak disana selama mencari teman-temannya yang tersasar. Saat itu Imran seddang memastikan kunci gembok untuk mengunci pintu rumahnya itu berfungsi dengan baik. Yusuf membayar makanan yang telah ia ambil saat seseorang mendekatinya.

“kang, akang tinggal sama si penyakitan itu ya kang, gak takut gitu kang?” ujar pemuda tanggung itu pelan.

“si penyakitan mana maksud akang?saya tidak mengerti..” jawabnya tak paham.

“iya itu si imran, kenapa akang mau-maunya tinggal sama orang penyakitan seperti dia..dia kan punya AIDS kang..kalau akang mau sewa rumah ditempat saya saja kang, lebih enak”

Tak disangka saat itu Imran sudah berdiri dibelakang mereka, beberapa orang sengaja meninggalkan warung itu, yang tinggal cuma mereka bertiga ditambah sipemilik warung yang hanya mendengarkan apa yang terjadi dari balik showcase sederhana warungnya. Sementara Yusf dan pemuda tanggung itu belum menyadari kedatangannya.

“oia?tidak apa kang, buat saya kang Imran itu baik, kalaupun benar dia punya penyakit AIDS bukan berarti dia harus dijauhi, gak banyak lho yang punya penyakit AIDS dekat dengan Tuhan, kalau saya sih malu kang, saya yang sehat saja jarang ke masjid, apalagi begitu fasih mengaji seperti kang Imran, tapi dia masih sempat mendekatkan diri pada Allah padahal tubuhnya berpenyakit..”

Sipemuda tanggung memicing kearah Yusuf, merasa diceramahi. Dia berbalik berniat meninggalkannya, tapi alangkah kagetnya ketika ada Imran yang seddang berdiri mematung didepan warung itu. Sipemuda tanggung itu langsung pergi dengan langkah agak cepat seperti ketakutan. Lalu Yusuf berbalik berniat mencari Imran, tapi ternyata dia sudah ada dihadapannya.

“eh kang kapan sampai sini, kok gak bilang-bilang, yuk kang berangkat sekarang, nanti keburu sore..”

Imran hanya mengangguk, pura-pura ia tak mendengarkan apa yang telah mereka bicarakan. Mereka berjalan menyusuri jalan setapak menuju hutan yang semakin lama semakin sepi saja. Ada sesuatu yang mengganjal dalam hati Imran, meskipun sekuat apa dia menyembunyikannya. Imran memperhatikan langkah sahabat barunya itu. Tak sedikitpun dia melihat Yusuf merasa jijik padanya, atau ketakutan hingga menjaga jaraknya. Yusuf malah berjalan beriringan tanpa menjaga jarak dengannya, terlebih Yusuf malah membagi air mineral botol miliknya pada Imran yang tengah kehausan.

“kang, apa akang tidak taku dengan keadaan saya?” Tanya Imran pada Yusuf yang memberrikan air mineral dari tangannya setelah dia minum sebelumnya.

“keadaan apa kang, memangnya akang hantu, drakula, vampire?kenapa harus takut, saya malah nyaman bisa berjalan dengan ahli surga” jawabnya polos.

“akang tidak takut terinfeksi oleh penyakit saya?” pertanyaan Imran kali ini membuat Yusuf berhenti berjalan. Keheningan tercipta begitu cepat, Yusuf memandang Imran yang sedang tertunduk lesu.

“memangnya akang yakin kalau akang punya penyakit AIDS?” jawab Yusuf memecah keheningan balik bertanya.

“yakin, ya sepertinya yakin, ini dari almarhum kedua orang tua saya..” jawabnya sedikit ragu.

“sudah diperiksa?” tanyanya lagi

“belum,,saya bukan orang pintar, saya juga bukan orang kaya saya tidak tahu haru pergi kemana..” jawabnya bertambah lesu.

“kalau begitu, jangan minum air itu, saya terinfeksi HIV AIDS dua tahun yang lalu..” jawab Yusuf dengan tegas.

“Saya tidak percaya..” ujar Imran sambil memandang wajah Yusuf yang duduk diatas batang pohon yang sudah tumbang diatas tanah.

“Kalau begitu minumlah” perintah Yusuf pada Imran..

Imran meminum sisa setengah botol air mineral milik Yusuf dengan cepat karena kehausan. Lalu memberikan botol kosong itu pada Yusuf sambil ikut duduk disampingnya. Keheningan mulai menyelimuti mereka lagi bersamaan dengan cahaya yang menembus celahcelah dedaunan yang rimbun menutupi langit.

Langit menampakan cahayanya lewat kilauan-kilauan cahaya yang memantul-mantul dipermukaan sungai yang tenang, setelah cukup beristirahat Imran dan Yusuf berjalan lagi meneruskan perjalanan mereka.

1 komentar:

  1. Terima kasih sudah main ke blog saya.
    Rasanya doa orang tua memang supaya anak-anaknya bisa lebih dari diri mereka sendiri. Kisahnya menarik...

    BalasHapus