100 Blog Indonesia Terbaik

Rabu, 10 Februari 2010

. . .KAKAK. . .

Setelah berbivak dua hari di beberapa titik, mereka menelusuri punggung gunung yang berhubungan langsung dengan lembah menuju Gunung Wayang. Namun Gunung Wayang ini tidak pernah terlihat areanya, karena selalu tertutup kabut sepanjang tahun. Belum banyak yang mengetahui daerah itu. Karena banyak legenda yang menyatakan keangkeran Gunung Wayang itu. Tengah hari mereka sampai di lembah kujang, lembah dikaki gunung wayang. Ada kecemasan, kalau teman-temannya itu tersesat hingga ke Gunung Wayang. Apa yang dikhawatitrkan ternyata memang kenyataan, ditepian lembah didekat danau musiman ada bekas tabunan , sepertinya belum lama. Mungkin baru tadi pagi dimatikan. Yusuf makin yakin kalau kedua temannya tersesat ke Gunung Wayang.

Mereka beristirahat sebentar ditempat itu. Sekedar melepas lelah dan pegal-pegal, Imran melepaskan Tracking boot yang dipinjamkan oleh Yusuf. Sepertinya dia tidak terbiasa dengan sepatu seperrti itu. Yusuf mengambil sebotol air mineral dan membaginya pada Imran. Imran mengambilnya dengan tangan kanannya, sesekali dia memijit-mijit kakinya. Lalu melamun lagi.

“kang, akang tidak jijik pada saya?” Tanya Imran memecah keheningan yang diciptakan keindahan danau Anakan Lembah Gunung Wayang yang keindahannya banyak yang belum tahu.

“sudahlah kang, tak usah difikirkan lagi..mau seperti apapun keadaanmu, akang tetap saudaraku…bukankah umat Islam semuanya bersaudara…?” jawabnya tegas.

Lalu keheningan lagi-lagi merayap diatas permukaan air danau musiman yang membentang diarah barat daya Gunung Wayang. Seolah memiliki aura keindahannya sendiri, dia begitu angkuh menggoda semua burung-burung kecil yang terbang diatasnya. Kupu-kupu, capung-capung terbang rendah diatas permukaan danau, sesekali turun hingga terciptalah gelombang air berbentuk lingkaran yang semakin jauh semakin besar. Riak-riak air permukaan danau begitu indah berlomba dengan angin yang berhembus, menyentuh permukaan danau angkuh itu. Imran dan Yusuf kembali berjalan lagi hingga naik kedataran yang lebih tinggi, dari tempat itu danau musiman terlihat lebih indah lagi. Matahari sudah hampir pulang keperaduannya. Terpaksa mereka harus mendirikan tenda ditempat itu, tenda dome yang tidak terlalu besar didirikan, untuk dua orang tenda itu masih terasa nyaman. Apalagi udara diluar sedang tak bersahabat.

Malam semakin pekat seiring doa yang dipanjatkan oleh Imran dalam shalat Isyanya. Sementara itu Yusuf sedang mencatat apa yang dilaluinya hari ini dalam buku harian kecilnya didepan api unggun. Imran menghampirinya sambil menggosok-gosok telapak tangannya dan meniupnya. Sepertinya udara memang sedang tak bersahabat.

“sedang menulis apa?” Tanya Imran pada Yusuf yang khusyuk dengan catatannya.

“ooh ini, catatan biasa. Biasanya saya mencatat semua yang saya lihat dalam perjalanan ke Gunung-gunung kang..mau baca?” tanyanya balik.

“tidak, saya tidak bisa baca kang..heheh” Imran menggaruk-garuk kepalanya.

“ooww..tidak apa, tapi akang berruntung bisa baca Al-Qur’an, saya kan tidak bisa ngaji kang..heheh” mereka tertawa bersama, mengobrol hingga larut tentang cerita masa kecil Imran.

Hari itu imran bocah kecil berbaju kumal duduk didepan rumahnya, diatas sebuah bale bambu yang sedikit reyot. Ada mobil-mobilan yang terbuat dari kulit jeruk, maju dan mundur jalannya, sesuai perintah tangan sibocah. Tak lama cuaca cerah berubah jadi gelap, mega mendung mengukuhkan keangkuhannya seraya menaburkan kabut sebagai ancaman awal, bila mereka yang dibawahnya tak mau tunduk maka sebentar lagi puluhan pleton pasukan rintik-rintik air hujan akan menyerbu bumi. Benar saja makhluk bumi tak mau mengalah, seolah tak mau tau ancaman yang dikirim oleh sang mega mereka tetap hilir mudik mengerjakan apa yang mereka inginkan.

Hujanpun turun tak terelakan lagi, beberapa tameng menghadang gempuran pasukan hujan, namun tetap saja hujan tak mau mereda, malah semakin besar dan lebat. Bocah kecil itu berlari masuk kedalam ketika kilatan cahaya dilangit sana menyambar-nyambar ujung pohon tertinggi. Seorang wanita paruh baya sontak langsung memeluknya, dia tak ingin anak satu-satunya ketakutan. Lalu tak lama ketika petir berteriak-teriak melagukan kesedihan langit seorang laki-laki paruh baya datang dengan tubuh basah kuyup, tangan kananya membawa seikat singkong yang baru dicabutnya dari kebun.

Keesokan harinya laki-laki paruh baya itu, demam tinggi, tubuhnya mengigil kencang seperti orang yang terkena hipotermia, hanya saja tak ada bagian tubuh yang membiru. Sang Istri yang merasa kelimpungan tak tahu harus berbuat apa selain mengompres suaminya itu menangis disampingnya. Dua hari berlalu sakit suaminya itu semakin parah saja, yang membuat parah itu sendiri karena mereka tak punya uang sedikitpun untuk berobat. Jangankan untuk berobat, sibocah kecil saja kelaparan sampai tak berhenti menangis. Ada yang laki-laki paruh baya itu ketahui. Bahwa Virus itulah yang membuat daya tahan tubuhnya sangat lemah, dia hanya bisa pasrah pada keadaan dan berharap sesuatu yang lebih buruk tak menimpa anak istrinya.

Satu minggu kemudian, perempuan paruh baya itu sedang menangis didepan sebuah pusara yang sepertinya masih baru. Tentu saja, diatas nisan kayu itu tertulis nama suaminya yang meninggal siang tadi. Kemal Mustafa. Sebenarnya dia adalah anak dari keluarga yang cukup berada, namun kemudian diasingkan karena menikahi perempuan yang tidak disetujui keluarganya, selain itu dia juga divonis terinfeksi virus HIV AIDS. Beberapa bulan berlalu setelah kematian suaminya, perempuan paruh baya itu semakin kurus, dia menghidupi anaknya sendirian, ketika anak kecil itu tumbuh menjadi anak yang baik diusianya yang ke Sembilan, perempuan paruh baya itu meninggal dunia karena dilempari batu oleh orang kampung karena sebuah alasan yang sesungguhnya sungguh tak berpihak.

Saat itu bocah kecil itu kelaparan, namun didepan ibunya dia tak menunjukan sakit lambungnya itu, namun tanpa sepengetahuan bocah itu ibunya melihatnya meringis-ringis kesakitan dibelakang rumahnya. Akhirnya perempuan paruh baya itu mencari pertolongan pada tetangganya, namun tak satupun dari mereka yang mau membantu kesulitannya. Hingga ia bertemu dengan seorang nenek tua yang baik hati yang mau memberikan sebungkus nasi untuknya, dengan cepat dia berlari memburu rumahnya, ditengah perjalanan kakinya tersandung batu kerikil yang berserakan dijalan setapak menuju rumahnya. Tak ayal nasi bungkuspun berhamburan ditanah yang berdebu karena kemarau panjang.

Perempuan itu berusaha mengumpulkan nasi-nasi yang telah berserakan itu dengan segenap perasaan harunya. Namun beberapa pemuda berandalan malah menariknya ketempat sepi. Dan menganiyayanya, bajunya dirobek dengan cepat, mulutnya ditutup oleh tangan pemuda yang lain, perempua itu hanya bisa pasrah saat ke-empat pemuda itu bergiliran menggagahinya, bulir-bulir bening keluar dari sudut matanya, tak sempat lagi berteriak karena suaranya telah lebih parau dari suara semut yang berteriak. Puas menggagahi perempuan paruh baya itu mereka meninggalkannya begitu saja, dengan sisa-sisa tenaganya dia kembali mengumpulkan nasi-nasi yang berserakan, membersihkan tanah yang menempel pada nasi tersebut seraya menahan sakit pada organ intimnya. Sampai dirumah anaknya sedang menunggunya dengan mengengam nasi bungkus yang lebih baik kemasannya.

“makan lah buu, ibu pasti lapar,,” ujar anak kecil itu. Dia menukar bungkusan nasi ditangannya dengan bungkus nasi yang ada ditangan ibunya.

Ibunya duduk dengan lesu membuka bungkusan nasi dari anaknya itu. Anaknya membuka bungkus nasi yang ia bawa tadi, nasinya sedikit kotor. Tapi tetap dimakan oleh anaknya. Perempuan itu menangis sejadi-jadinya.

“jangan dimakan nak, itu kotor..” perintahnya ddengan suara parau.

“tidak buu, ini enak..ini abon buu, ibu makan saja itu, ada tahunya, supaya ibu kuat..” jawab sianak sambil berlalu pergi membawa bungkusan nasi itu.

Perempuan itu memakan nasi pemberian anaknya sambil menangis sesengukan, mengenang almarhum suaminya. Lalu tiga hari kemudia perempuan itu sakit keras. Dan dua minggu kemudian akhirnya perempuan itu melepaskan nyawa dalam keadaan memprihatinkan. Namun sebelum kematiannya, sang ibu memnulis surat dalam selembar kertas. Beberapa hari kemudian anak itu dibawa oleh nenek tua yang memberikan nasi itu kerumahnya, dan dibesarkan olehnya sampai akhirnya nenek tua itu juga meninggal dunia. Selanjutnya abocah kecil itu tumbuh besar dengan penuh tekanan dari penduduk kampung yang tak ingin kehadirannya. Sejak kecil dia hanya memiliki satu orang sahabat, dan sahabat satu-satunya itu akhirnya dijauhkan darinya karena dititipkan pada keluarga dari ayahnya dikota, hanya sahabatnya itu yang mau mendengar semua cerita-ceritanya, tak ada yang lain. Persahabatan itu terjalin dengan tulus hingga hari ini.

Imran berhenti bercerita, dan mengeluarkan selembar kertas dari balik jaketnya. Lalu kertas yang sudah kusam itu disodorkan pada Yusuf yang masih termenung mendengar ceritanya.

“bisa tolong bacakan ini untuk saya?” Tanya Imran pada yusuf.

“tentu,..” yusuf mengambil kertas ditangan Imran dengan hati hati lalu membukanya perlahan dan mulai membacakan surat itu.

Teruntuk Anakku

Yang akan lebih kuat dari kami

Ibu dan Ayahmu.

Assalamualaikum anakku..

Kami tahu ketika kamu membaca surat ini, kamu dalam keadaan yang baik. Maafkan kami bila selama ini tak memberikanmu kebahagiaan. Ibu hanya berpesan satu hal padamu, hargailah semua perempuan didunia ini seperti ayahmu menghargai ibumu ini. Bila kelak kamu menemukan cinta mu, maka cintailah dia karena Allah, seperti ayahmu mencintai ibumu.

Kau tahu anakku, ibu selalu menyayangimu bahkan saat ibu akan menutup mata..kami akan selalu tersenyum untukmu, kami percaya kamu bisa lebih kuat dari kami.

Terakhir, hargai hidupmu, maka kamu akan bisa menghargai orang lain..

Kami Yang Mencintaimu…

Tak terasa yusuf meneteskan air matanya, dan cepat-cepat dia menyekanya dengan tangannya. Imran hanya tersenyum, tapi dalam hatinya sebuah gemuruh hebat membuatnya pelan-pelan menyenandungkan asma-asma Allah dalam lirihnya. Keheningan kembali meraja keitak lidah api menjilati dinginya udara ditengah gunung Wayang, lau Imran berdiri dari duduknya, dengan sedikit malu-malu dia bicara pada Yusuf. Imran meminta yusuf menuliskan sebuah kalimat untuknya. Kemudian segera yusuf membuka buku sakunya dan menulis sesuatu yang diminta sahabat barunya. Semenit kemudian setelah Imran menerima secarik kertas dengan sebuah kalimat yang dituliskan oleh Yusuf, dia kembali ketempat dduduknya dan mengambil ranting kering didepannya, lalu dengan hati-hati menuliskan sesuatu ditanah seraya memperhatikan bentuk huruf-huruf yang terdapat dalam kertas itu. AYAH DAN IBUKU DI SURGA dengan sedikit menceng-menceng akhirnya dia berhasil mencopy bentuk-bentuk tulisan dalam kertas itu ditanah. Yusuf hanya memperhatikan sambil tersenyum lalu membetulkan sedikit kesalahan penulisan huruf B dan K yang ditulis oleh Imran ditanah, lalu mereka tertawa hingga malam memerintahkan keduanya untuk beristirahat.

Kira-kira pukul 2 malam yusuf terbangun karena mendengar suara seseorang meminta tolong dari kejauhan. Api ungun masih menyala kecil sisa tadi. Mungkin itu yang membawa orang itu datang ke area bivak mereka. Namun ada sedikit keraguan dalam hati Yusuf, yusuf berharap dalam hatinya kalau cerita orang tentang keangkeran gunung ini tidak benar. Segera sja dia membangunkan Imran yang sedang tertidur pulas. Dengan mata yang sulit dibuka Imran terpaksa bangun, seketika mereka keluar ketika suara langkah kaki seseorang semakin dekat kearah mereka. Yusuf mengarahkan senternya keberbagai arah, dari arah lain dia melihat seseorang memainkan cahaya senter seperti morse, S-O-S. Akhirnya Yusuf yakin kalau itu manusia. Tak lama seorang laki-laki muda yang menggendong perempuan datang dengan terengah-engah.

“bambang,,,elo selamat….?” Tanya Yusuf tak percaya.

“lo mau gue mati bahlul??” laki-laki itu balik bertanya dengan sedikit sewot

“sebenernya iya sih,heheh tapi Alhamdulillah kalo selamat gue ada temen buat disusahin lagi…hehe” jawabnya polos.

“sialan lo cup..udah jangan becanda dulu, liat nih Mira, maag nya kambuh..gue bingung harus giman, persediaan obatnya abis, kemaren sebagian barang kita dicuri monyet-monyet sialan itu cup..”

Tanpa banyak bicara lagi mereka menempatkan Mira ditempat yang agak hangat, satu-satunya tempat yaitu tenda dome berkapasitas 3 orang itu. Yusuf dan Bambang sedang kebingungan ketika Imran tiba-tiba bersuara.

“cepat cari bunga kenanga..tak jauh dari sini mungkin ada kalau tidak salah, oia kalian punya gula kan?cepat nyalakan api kita harus merebus air untuknya..” perintah Imran tegas, sejenak Yusuf dan Bambang saling pandang, namun sedetik kemudian mereka berinisiatif melaksanakan perintah Imran dengan segera.

“gue yang nyari bunga kenanga cup…perasaan gue liat tadi sore, emang gak jauh dari sini..” ucap Bambang bersemangat dalam kepanikannya.

“ya udah gue yang ngerebus aer..” jawab Yusuf tak kalah bersemangat.

Sementara itu Imran membongkar keril milik Yusuf dengan cepat, dia menemukan sepotong roti. Lalu Imran memaksa Mira yang sedang meringis-ringis memegangi perutnya untuk memakan roti yang diberikan Imran. Mira patuh pada imran yang baru dia temui saat itu karena dia yakin ada ditangan yang tepat, tak lama kemudian Bambang datang dengan segenggam bunga kenanga ditangan kanannya, dan seekor ayam hutan tangan kirinya.

“buseet, bukan ayam bahlul..tapi bunga…” ujar Yusuf sewot.

“elo yang bahlul ucup, ini kan namanya sekali dayung dua tiga pulau terlampaui, bunga dapet makan malampun dapet…” bambang mengacungkan kedua tangannya.

“terserah lo deh..”

“yeee sewot, dasar cewek..” Bambang terkekeh.

“kang, ini kembangnya di apain..?” Tanya Yusuf,

“rebus air satu gelas, terus masukin bunganya sekalian, kalo airnya udah tinggal setengahnya angkat rebusan bunganya. Terus masukin gula pasir satu sendok makan. Terus diaduk, kalo udah bawa kesini..” jawabnya cepat.

“okeh pa dokter,” jawab bambang bersemangat.

“ya udah sini ayamnya biar gue yang urus..” pinta Yusuf pada bambang.

“kagak bahlul, ente mah urusannya ama kembang pan, biar ane yang urus ayam…”

Mira yang sedang kesakitan, tersenyum mendengar teman-temannya yang seperti anak kecil. Begitu juga dengan Imran yang buru-buru keluar membantu apa yang sedang dikerjakan oleh Yusuf. Setelah tahap-tahap yang disebutkan Imran tadi selesai ramuan alam itu diminumkan pada Mira, sambil masih menahan rasa sakit yang mulai mereda dilambungnya, Mira bertanya pada bambang.

“bang, elo apain tuwh ayam, kok daritadi gak ada suaranya..?” ujar Mira sekenanya.

“maksud lo ra?ane masih normal kali ra, kalopun iya ane suka sama ayam harus ayam betina donk..masa ayam jantan…” jawab bambang polos.

“?#@##$?>*&?!!?” semuanya berpandangan merasa ngeri mendengar penjelasan Bambang.

“cup, anter ane ngambil tenda yuk..” pinta bambang pada Yusuf didepan Api unggun.

“pergi sono sendiri, gue mau tidur…” jawab Yusuf sambil masuk ke tenda. Tapi saat masuk tenda dome Yusuf ditendang oleh Mira yang sedang rebahan.

“heh, cowo diluar donk…” kata Mira sarkastik.

“yeey ini tenda gue Ra..” jawab Yusuf.

“gak boleh, lo tunggu tenda si Bambang tuwh, kalian tidur bareng sana..”

“ogah deh,,mending tidur diluar daripada tidur sama orang yang punya kelainan kayak dia, suka sama ayam, mending gue mau tidur sama lo ya ra..”

“najis lo cup…” Mira memukul-mukul Yusuf sambil tertawa dan mereka semua tertawa.

Pagi-pagi sekali ketika langit mulai bersahabat, mentari pagi muncul dengan malu-malu. Cahayanya menembus sela-sela dedaunan yang rimbun, dan menembus butiran embun diujung dedaunan yang terlihat segar. Butiran-butiran itu seperti permata yang berkilauan, burung-burung dipucuk pohon bernyanyi riang, anak-anak burung yang baru beberapa hari umurnya bercicit-cuit bergiliran menunggu bagian sarapan pagi dari induknya. Jauh dibawah sana dilembah awi, danau musiman yang kemarin terlihat banyak airnya sedikit surut pagi ini, tapi tak sedikitpun berkurang keindahannya. Dari atas sini terlihat jelas kilauan-kilauan cahaya diatas permukaan danau seperti kilauan cahaya pada cermin besar, lalu pecah karena sekumpulan capung menyentuh permukaannya sehingga riak air memudarkan kilauan cahaya mentari pagi dipermukaan danau musiman itu.

Imran tak terlihat setelah shalat subuh tadi, Yusuf bangun dengan mata masih terlihat sipit seperti orang cina, begitu juga dengan Mira yang baru membuka resleting tendanya. Disusul oleh Bambang yang keluar dari belakang tenda dome miliknya. Sambil mengeliat. Mira menatap Yusuf dan Bambang dengan tatapan curiga. Yusuf lalu membalas tatpan Mira dengan tatapan yang artinya: “eh gue gak ngapa-ngapain tuh sama si bambang”. Lalu Mira mengangguk dan membalas tatapan Yusuf dengan arti: “gak apa-apa ko cup, gue ngerti..anggap aja itu malam pertama lo sama Bambang..”. Mira tertawa geli melihat ekspresi wajah Yusuf. Bambang yang tak mengerti apa yang terjadi diantara mereka hanya menatap dengan tatapan yang menyelidik.

Tak lama Imran datang dengan membawa beberapa ekor ikan. Ikannya hanya sebesar telapak tangan orang dewasa. Tapi sepertinya enak kalau dibakar.

“wuuiiih, ikan tuh kang…ikan apaan kang?” Tanya Bambang yang selalu sigap soal makanan.

“ikan Mujair..” jawab Imran singkat.

“kok kayak louhan ya kang..” Mira menimpali.

“saudara kembarnya kali raa..” jawab Yusuf polos, semuanya tertawa.

Lalu mereka menyiapkan segalanya, Miraa meracik bumbu sederhana untuk melumuri ikan sebelum dibakar. Yusuf menyiapkan api dan Bambang sibuk membersihkan ikan. Saat persiapan telah selesai Semuanya duduk membentuk lingkaran kecil mengelilingi ikan bakar yang sedang menunggu matang dan siap disantap manusia-manusia kelaparan disekelilingnya.

“eh iya raa, bang gue lupa belom ngenalin kang Imran sama kalian..” kata Yusuf membuka pembicaraan. “dia kakak gue..kakak kandung gue yang selama ini tinggal di kampung.” Lanjutnya.

Imran terkaget mendengar penuturan Yusuf, ada sedikit kebahagiaan dalam hatinya, lagi-lagi dia merasakan untuk pertama kalinya lagi dianggap sebagai saudara. Bambang berdiri dan menyodorkan tangannya sambil memperkenalkan diri dengan bangga.

“kenalkan kang, nama saya Bambang Dwiguna, anak kedua dari tiga bersaudara, dan perlu diketahui kalau saya satu-satunya makhluk ganteng dikeluarga saya…”

“jelas lah, dikeluarga elo kan Cuma elo cowo satu-satunya…” timpal Mira sarkas. semua tertawa geli melihat ekspresi wajah Bambang yang berubah, lalu bambang ikut tertawa. Sementara Tangannya berjabat tangan dengan Imran. Lalu giliran Mira yang memperkenalkan diri, dia tidak menyodorkan tangannya, hanya menangkupkan kedua tangannya didepan dadanya.

“saya mirra kak, panggil saja iraa..oia terima kasih buat yang semalam..” Mira tersenyum, Imran membalasnya dengan senyuman juga serta tangan yang ditangkupkan didepan dada.

Ikan bakarpun sudah matang semuanya makan dengan lahap, apalagi bambang seperti bocah etiopia yang belum melihat makanan selama beberapa bulan dan sekarang menemukannya, bisa dibayangkan, mungkin. Mira sesekali memerhatikan Imran diam-diam, tanpa sepengetahuan siapapun. Meskipun Imran sedikit kikuk, imran tidak terlalu jelek. Wajahnya lumayan tamapan, apalagi wajahnya memang selalu terlihat bercahaya, karena tak pernah ia melewatkan shalat yang lima. Dia akan merasa sangat berdosa bila melewatkannya. Sedikit-sedikit Mira mulai merasa kagum pada seorang laki-laki yang baru dikenalnya itu.

Tengah hari mereka sudah selesai memberesskan barang-barangnya, lalu dengan segera mereka turun gunung. Sepanjang perjalanan begitu banyak cerita yang keluar dari masing-masing mereka. Satu jam perjalanan mereka sudah berada dilembah, karena kemarin mereka memang tidak naik terlalu jauh dikarenakan belum mengenal medan dengan baik, lalu dari lembah itu mereka tidak kembali naik ke jalur gunung sunda, karena akan menghabiskan banyak tenaga, sedangkan perbekalan mereka hanya tinggal sedikit. Imran memutuskan untuk mengikuti aliran sungai yang arahnya memutari gunung sunda. Sungai itu dikenal dengan nama sungai Cikeong. Karena dulu di sungai ini banyak keongnya. Dan kalau kau percaya, inilah sungai asal mula terjadinya kisah klasik keong mas.

Beberapa kali mereka berhanti untuk beristirahat, karena jalur terasa lebih jauh, hanya saja medannya datar sehingga lebih ringan bagi mereka. Perjalanan dilanjutkan Imran berada diposisi paling depan sebagai pembukan jalan. Lalu dibelakangnya mira membuntuti dengan sesekali tersenyum sendiri. Senyumnya itu senyum perempuan yang sedang merasakan perasaan bahagia. Mira adalah perempuan yang cantik, meski tak menggunakan kerudung, apalagi mungkin bila mengenakan kerudung, lengkap sudah keindahan seorang perempuan pada dirinya. Mungkin bisa lebih cantik dari Nuri fikir Imran, tapi lagi-lagi imran memupus khayalannya dan cepat-cepat memohon ampun pada yang maha Esa. Dibelakang Miraa Yusuf dengan buku catatannya terus mencatat apa yang telah dilaluinya. Dibelakang yusuf bambang mengawal mereka dengan Pisau belati yang menggantung dipinggangnya. Sesekali bambang menggoda Mira yang senyum-senyum sendiri hingga mira cemberut. Tapi tak sedikitpun kecantikannya berkurang bahkan saat dia cemberut. Kau takkan percaya bisa melupakan senyumannya bila melihatnya dengan mata kepala sendiri.

Jam ditangan mira menunjukan angka 16:35 Wib tapi sepertinya perjalanan masih jauh. Imran mengajak mereka berhenti disana untuk melaksanakan shalat ashar. Sekalian berbivak lagi untuk mala mini, karena perjalanan masih lumayan jauh, dia khawatir kalau malam-malam mereka melanjutkan perjalanan. Sebab didepan sana hutan lebat menanti. Dan bahaya yang bisa saja menghadang belum bisa ditentukan. Mereka mencari tempat yang sedikit datar untuk mendirikan tenda dome mereka. Bambang berkeliling mencari ranting-ranting kering untuk menyalakan api unggun. Semuanya membagi tugas masing-masing. Kecuali Mira dia pergi mencari semak-semak yang agak tertutup karena tak tahan ingin buang air kecil.

Tiba-tiba dari balik semak-semak mira berteriak histeris. Imran, bambang dan Yusuf yang sedang bekerja sontak langsung berlari kearah datangnya suara Mira. Sesampainya disana Mira sedang berdiri mematung, tak jauh beberapa kaki didepannya seekor Ular kobra hitam berdiri siap siaga. Tak ada gerakan dari tubuhnya. Tinggi ular itu saat berdiri hampir satu meter. Itu ular yang lumayan panjang, Lidahnya sesekali keluar menjulur-julur merasai udara yang ada dihadapannya. Ular itu seperti buta dia tidak bisa melihat manusia dengan matanya dia hanya fokus terhadap satu gerakan, tapi dia merasakan dan menangkap gerak dan benda disekitarnya dengan lidahnya yang sensitif.

Miraa mulai mengeluarkan keringat dingin, wajahnya pucat, bibirnya gemetaran. Kalau dibiarkan Mira bisa pingsan dan pingsan merupakan sebuah gerakan yang akan ditangkap oleh ular itu sebagai ancaman. Yusuf bergidik karena dia sangat phobia dengan ular. Bambang mengeluarkan pisau dan berjalan memutar sambil terus menjaga jarak. Si ular itu menangkap gerakan lain dan merasa terancam, ular itu berbalik arah sekarang. Rahangnya mulai terbuka dan bedesis. Mira perlahan-lahan ditarik mundur oleh Imran ketempat yang aman bersama dengan Yusuf yang menggigil ketakutan. Sekarang ular itu berhadapan dengan Rambo dadakan, bambang masih menggenggam pisau ditangannya erat-erat tanpa gerakan. Tiba-tiba Ular itu membuka rahangnya dan meludahi bambang dengan bisanya. Beruntung bisanya hanya mengenai jaketnya tidak matanya. Nampaknya sang raja ular itu mulai memberikan perlawanan karena merasa terancam. Mahkotanya terbuka lebar semakin membuat ular itu terlihat gagah dan buas lidahnya menjulur keluar masuk dan masih terus berdesis, kepalanya seperti sedang mengambil aba-aba. Namun dibelakangnya tanpa bersuara Imran mendekati ular itu dengan hati-hati. Kedua tangannya seperti siap menangkap ular itu.

Saat ular itu untuk meludahkan bisanya untuk yang kedua kali, bambang mundur beberapa langkah. Dari belakang ular itu dengan cepat dan bersamaan tangan kanan imran menangkap dan menjerat kepala kobra itu, tangan kirinya memegang erat bagian tengah tubuhnya dan kakinya menginjak ekornya dengan kuat. Ular itu masih sempat menggeliat dan melilit tangan Imran, lalu Bambang datang membantu dengan sedikit takut. Rahang ular itu sudah tak bisa bergerak sebab seperti dicapit oleh tangan Imran. Dibelakang sana lagi lagi Yusuf merasa kagum pada kakak barunya itu, begitu juga Mira semakin mengagumi laki-laki yang baru dikenalnya itu. Hampir saja Bambang mau membunuh ular itu, namun Imran melarangnya. Imran Membawa Ular itu dengan bantuan bambang ketempat yang jauh dari tempat mereka berbivak, lalu Imran melepaskan Ular itu dengan hati-hati, seperti mengerti dengan perintah Imran untuk menjauh dari manusia Ular itu pergi menjauhi mereka meliuk-liuk seperti kereta apa. Setelah agak jauh tiba-tiba kepala ular itu berbalik untuk sepersekian detik berhenti menatap Imran seolah mengatakan: terima kasih kau tidak membunuhku.

Imran kembali dengan selamat, bambang mengelap peluh dan melepaskan jaket yang terkena semburan bisa ular itu. Mira yang masih gemetaran menghampiri imran dan menanyakan keadaanya. Bambang sewot sambil berusaha menggoda adiknya itu. Wajah Mira yang putih tiba-tiba memerah. Matanya berdelik pada Bambang. Malampun berlalu seperti malam kemarin, namun kali ini tak banyak pembicaraan, mereka sudah terlalu letih dengan perjalanan hari ini.

Suara binatang-binatang malam bersahut-sahutan, mendendangkan lagu mereka tentang keindahan malam ini. Mira rupanya tak bisa tidur daritadi. Bambang dan Yusuf sendiri sudah terlelap dan pergi kealam mimpi mereka masing-masing. Yang tinggal diluar didepan api unggun hanya Imran dengan al-Qur’an kecil ditangannya, dia mengaji dengan pencahayaan seadanya dari api unggun didepannya. Suaranya begitu indah membuat Mira merinding mendengarnya, dia keluar dari dalam tenda Domenya dan duduk didepan Imran yang sedang mengaji, mereka hanya dibatasi api unggun yang masih menyala, hangatnya membuat Mira semakin mendekatkan tubuhnya pada api unggun itu. Imran menyadari kehadiran Mira dihadapannya, dia menghentikan bacaannya.

“belum tidur?besok perjalanannya masih lumayan jauh lho..” Tanya Imran.

“kakak sendiri, oia lagi-lagi terima kasih untuk hari ini..cepat tidur, kakak pasti capek..Ira tidur duluan ya kak..” Mira berusaha menyembunyikan perasaan canggungnya dengan kembali masuk ke tenda Domenya.

Imran sendiri merasa ada yang aneh dengan perasaannya. Untuk pertama kalinya dia dipanggil kakak oleh seorang perempuan. Lagi-lagi imran menghapus fikirannya itu dan segera mengucap Istigfar. Semoga Kau mengampuniku ya Allah. Katanya pelan. Kuserahkan Hatiku, cintaku, hidupku, ragaku hanya untukMu ya Allah..din bila aku harus memiliki kekasih nantinya, aku harap itu pilihanMu. Imran berharap dalam lirihnya. Angin malam bertiup lembut menyapa kulit manusia-manusia yang masih terjaga. Imran mendekatkan tubuhnya kea pi unggun didepannya. Hingga tertidur diatas matras yang sengaja mereka gelar didepan api unggun.

Mira mebuka resleting tendanya, memastikan laki-laki didepan api unggun itu tidur dengan nyaman dan dalam keadaan baik-baik saja. Ternyata laki-laki itu sudah terlelap tanpa selimut. Mira keluar dengan selembar kain sarung, dia menyelimuti Imran yang kedinginan tanpa selimut. Lalu setelah memastikan Imran tidak terlalu kedinginan lagi dia masuk kembali kedalam tendanya. Lalu masuk kedalam sleeping bagnya. Bambang yang ternyata belum tidur hanya tersenyum dari celah resleting tendanya yang sedikit terbuka.

Malam semakin pekat menyelimuti hutan yang berdiri angkuh melindungi semua makhluk didalamnya. Sesekali angin malam meniup sisa bara api yang masih menyala merah redup menjadi merah kekuningkuningan. Desau angin malam seperti mengantar Imran pergi kedalam mimpi indahnya.

Keesokan paginya semua sudah selesai beres-beres, mereka melanjutkan perjalanan karena mereka harus segera pulang ke Bandung. Sepanjang perjalanan Yusuf bercerita banyak tentang kuliahnya di Bandung, Yusuf yang asli Jakarta kost di bandung sendirian, beruntung dia bertemu dengan bambang, teman kuliahnya yang sama-sama berasal dari Jakarta. Mira sendiri adalah adik kelasnya dijurusannya dan sekaligus adik kandung bambang, sehingga mereka sering pergi bersama. Tak terasa sebelum adzan ashar mereka sudah sampai dikampung cidulang. Karena mereka harus segera pulang ke Bandung mau tak mau mereka harus meninggalkan desa itu saat itu juga. Yusuf memberikan alamatnya di Bandung pada Imran, dia memeluk imran seperti memeluk kakaknya sendiri. Bambang juga berpesan agar suatu hari Imran bisa berkunjung kerumahnya. Begitu juga dengan Mira, sepertinya berat dia harus berrpisah dengan imran, tapi apa daya mereka harus segera pulang.

“kak, Insya Allah kita akan bertemu lagi..” Mira berbalik dan pergi lebih dulu, lalu disusul bambang, kemudian Yusuf.

“kang, datanglah padaku kalau akang sudah tak nyaman tinggal disini..oia aku janji aku akan datng kesini kalau ada waktu, akang sudah menjadi kakak untukku..assalamualaikum..”

“waalaikumsalam, hati hati dijalan..” jawab Imran terharu. Hingga mereka berlalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar